Ceramah Tentang Tanda-tanda Orang yang Berakal

 Akal adalah salah satu anugerah terbesar yang diberikan kepada manusia oleh Allah Swt. Dengan akal ini ia bisa berpikir dan memahami setiap peristiwa yang terjadi di alam ini dan yang paling penting adalah bahwa akal merupakan media utama untuk menjawab pertanyaan tentang siapakah saya dan hal ikhwal tentang kehidupan manusia. Selengkapnya ceramah tentang tanda-tanda orang yang berakal berikut ini, Semoga Bermanfaat ! 
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh 
Hadirin yang berbahagia
 Pada kesempatan kali ini izinkanlah saya menyampaikan sedikit bahasan tentang akal. Barang kali kita telah mafhum bahwa yang menjadi pembeda manusia dengan mahluk lainnya adalah keberadaan akal yang dimilikinya. Akal inilah yang memandu manusia untuk dapat berjuang agar mampu mencapai kebahagiaan yang hakiki baik di dunia maupun di akhirat. Namun apakah sebenarnya akal itu? Adakah keberadaannya hanya menyankut pikiran? 
Arti kata akal adalah ikatan, jika tali dapat digunakan untuk mengikat kuda maka akal dapat digunakan untuk mengikat manusia. Akal dapat mengikat manusia dari kecenderungan bertindak pada hal-hal yang negative yang hanya didasari nafsu, akal pun dapat menjadi penunjuk arah untuk menuju hal-hal yang dinilai baik dan benar dan pada dasarnya kita tahu bahwa akal adalah patokan yang membuat seorang muslim dikenai hukum agama. Jika seseorang tiada berakal maka ia tidak dikenai hukum agama misalnya saja pada beberapa orang yang dinilai gila atau tidak waras.
 Dalam pepatah melayu dikatakan bahwa,’’mengikat binatang dengan tali, mengikat manusia dengan akal. Jadi sebagaimana tali mengikat unta supaya tidak lari tanpa kendali , akal manusia mengikatnya pula supaya tidak lepas mengikuti hawa nafsu. Segologan orang berpendapat bahwa orang yang berakal ialah orang yang cerdik dan arif bijaksana. Ia mendapatkan inayah inayah dari Allah sehingga hatinya penuh kebijaksanaan, persangkaannya baik dan harapannya benar. Mereka yang berakal mampu melihat suatu hal secara mendalam bukan hanya sebatas melihat kemasan tapi mampu menembus isi atau makna. 
Barang kali kita pernah bertanya-tanya, dimanakah letak akal? Apakah di dalam tempurung kepala ataukah dalam suatu organ yang disebut jantung? 
Menurut pendapat ahli ilmu jiwa, akal itu bukanlah suatu sifat yang berdiri sendiri tetapi hasil daripada tiga sifat yaitu pikiran, kemauan dan perasaan (rasa, periksa dan karsa). Panca indra sebagai alat pertama yang dilalui pengetahuan agar sampai pada pikiran. Timbulnya pikiran diikuti oleh kemauan menyelidiki dan perasaan yang timbul baik senang atau sakit, gembira atau sedih, semuanya menghasilkan pengetahuan atas apa yang ditangkap oleh indra dan dicerna oleh pikiran dan perasaan. Maka itulah kiranya gambaran akal dimana antara pikiran, kemauan dan perasaan tidak dapat dipisahkan melainkan saling bertautan. 
Berkaitan dengan akal ini, tidak semua orang unggul dalam setiap komponen akal yang terdiri dari pikiran, kemauan dan perasaan. Ada orang yang unggul dalam pikirannya, atau kemauannya atau bahkan perasaannya. Ahli seni adalah mereka yang begitu mendalam menggunakan perasaannya tanpa mengabaikan penggunaan pikiran dan kemauan. Seorang filosof begitu dalam menggunakan pikirannya dan bagi seorang pahlawan pejuang bangsa kemauan yang begitu teguh untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan amat kuat bersemayam dalam dirinya. Tiga unsur akal ini tidak berjalan secara terpisah melainkan saling berkaitan meskipun setiap orang berbeda tentang seberapa dominankah mereka dalam ketiga komponen akal itu. 
Hadirin yang berbahagia 
Apakah tanda-tanda dari orang yang disebut berakal ?
Dalam buku falsafah hidup karya Buya Hamka, dikatakan bahwa setengah hukama telah ditanyai,’’ apakah bukti orang berakal? ‘’ jawab beliau,’’perkataannya tak banyak yang tidak berguna’’. Orang itu bertanya pula,’’ Kalu kita tak mendengar perkataannya, hanya dari jauh saja terdengar namanya, bagaimana pulakah tandanya? Beliau menjawab,’’ dengan tiga perkara, pertama dengan mengenal utusannya. Kedua membaca tulisannya , ketiga dengan menilik hadiahnya. Utusannya adalah bayang-bayang dirinya, suratnya menunjukan susunan pikirannya, hadiah menunjukan timbangannya. Maka kurang dan lebihnya ketiga perkara itulah ukuran orangnya.
 Orang yang berakal tidak dilihat dari apa yang ia kenakan karena gagahnya pakaian tidak pernah menunjukan seberapa tinggi akal manusia. Buya Hamka berkata ilmu tidak terletak pada pakaian, akal bukan di baju, bijak bukan di sepatu. Singkatnya kedalaman akal dan jiwa manusia tidak terlihat dari symbol keduniawian yang ia kenakan. Siapapun ia, asalkan berilmu dan menggunakan akalnya secara baik dan benar adalah mereka yang disebut sebagai orang yang berakal. 
Kembali kepada tanda-tanda orang berakal, dikatakan bahwa orang yang berakal adalah mereka yang luas pandangannya terhadap suatu hal baik yang membuatnya senang ataupun sulit. Bagi orang yang berakal menempuh perjalanan terjal untuk menemukan kebahagiaan yang hakiki lebih mungkin dilakukan daripada menempuh jalan yang mudah tapi begitu rapuh untuk menjadi hancur pada akhirnya. 
 Bagi orang yang berakal menjalani kepahitan dan kepayahan hidup di dunia untuk mencapai kebahagiaan di akhirat lebih utama dibanding menjalani kehidupan yang mengenakan di dunia tapi berakhir dengan kacau di akhirat. Barang kali peribahasa berakit-rakit ke hulu berenang-renang ke tepian adalah peribahasa yang tepat untuk menggambarkan kondisi ini. Sakit di awal dengan akhir yang manis lebih indah daripada manis di awal tapi pahit di akhir. 
Tanda-tanda orang berakal selanjutnya adalah tentang menaksir harga diri. Maksudnya orang yang berakal selalu mengukur keberhargaan dirinya diantaranya dengan memeriksa hari-hari yang telah dilaluinya apakah digunakan untuk hal-hal yang berguna. Mereka pun memikirkan menuju manakah langkah-langkah hidup yang ditempuhnya apakah menuju keridhaan Tuhan ataukah sebaliknya.
 Bagi orang yang berakal berpikir sebelum bertindak adalah sikap yang telah bersemayam dalam dirinya. Ia selalu menimbang apakah perbuatannya akan membawa kebermanfaatan atau malah kemadharatan. Ia banyak berpikir tentang keadaan dirinya, sejauh manakah kebaikan berada dalam dirinya? Seberapa banyak kah kekurangan yang harus diperbaiki? Seberapa banyak ia dapat meneladani kebaikan orang lain? seberapa banyak ia berkawan dengan orang-orang yang shalih ? dan sebagainya.
 Orang yang berakal tidak berduka cita pada apa-apa yang belum ditakdirkan untuknya. Ia tidak berputus asa pada cita-cita dunia yang tak Allah kehendaki untuknya, ia pun tidak bersedih hati lantaran nikmat hidup meninggalkannya. Mereka yang berakal begitu lapang dan ikhlas dalam menerima ketentuan-Nya meskipun dalam ukuran manusia dinilai begitu tidak mengenakan dan tak menyenangkan.
 Mereka yang berakal, tidak cemas ketika berada dibawah dan tidak menyombongkan diri ketika berada di atas. Apapun kondisinya baik berkonotasi bahagia atau sedih, ia tidak berlebihan dalam menyikapinya. Barang kali ia sadar betul bahwa kenikmatan dunia hanyalah titipan yang selalu dipergilirkan keberadaannya.
 Di tengah ketinggian budinya, orang yang berakal tidak pernah merasa lebih baik dari orang lain. ia begitu kabur dalam melihat aib orang lain tapi begitu jelas melihat aibnya sendiri. Pengetahuan tentang aibnya ini menjadikannya selalu mawas diri untuk terus memperbaiki dirinya sendiri karena barang kali waktunya hidup tidak lama lagi. Tingginya budi orang yang berakal menjadikannya begitu indah dalam ingatan karena kedalaman jiwa dan budinya ini menjadi bekas akal yang kekal. Ilmu dan adabnya menjadi referensi bagaimana seharusnya manusia hidup di dunia yang fana ini. 
Hadirin yang berbahagia
 Seberapa banyak kah kita menggunakan akal yang telah di anugerahkan-Nya? Adakah kita telah menjadi orang yang bersyukur terhadap pelbagai titipan yang diberikan-Nya? Adakah akal ini telah digunakan sebaik mungkin sehingga dengannya kita berbeda dengan mahluk lainnya?
Menjadi penting untuk memikirkan kembali tentang siapa kita? Mengapa kita hidup? Kemanakah kita akan menuju?  
Pertanyaan-pertanyaan filosofis ini dapat dijawab hanya dengan akal yang dipergunakan dengan sebaik dan sebenar-benarnya melalui tuntunan agama. Akhir kata semoga kita menjadi manusia yang berakal yang dengannya dapat menjadikan kita sebagai khalifah di muka bumi. Barang kali demikianlah yang dapat saya sampaikan, kurang dan lebihnya mohon dimaklumi dan dimaafkan. Billahi Taufik Wal Hidayah Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh